English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Senin, 23 Agustus 2010

Cristiano Lopes


Cristiano Lopes gagal bersinar musim lalu. Setelah pindah ke PSIS Semarang pada pertengahan musim 2009-2010, penampilannya cenderung melorot. Kini pemain berkepala plontos yang menjalani seleksi di Delta Putra Sidoarjo (Deltras) tersebut bertekad kembali cemerlang seperti kala bermain bersama Pelita Jaya Karawang.

RAUT muka Cristiano Lopes semringah. Striker berusia 32 tahun itu tersenyum puas sesudah bertanding melawan Persipro Probolinggo dalam ajang Liga Jatim Piala Gubernur 2010 Sabtu lalu (21/8) di Gelora Delta, Sidoarjo. Pada laga perdananya bersama The Lobster -julukan Deltras-, Lopes mencetak dua gol. Selain itu, timnya menang.

"Sungguh suatu berkah dari Tuhan. Walau hanya berlatih sekali, saya dan Danilo (Fernando) bisa langsung mencetak gol," kata Lopes setelah pertandingan.

Dalam laga tersebut, bapak satu anak itu memang tampil ekspresif. Berbekal body balance yang bagus, penggemar klub Barcelona tersebut hampir selalu memenangi duel kala melawan bek-bek Persipro.

Maka, tak heran, di kampungnya, Rio de Janeiro, Brazil, Lopes dipanggil Toro, yang berarti berotot. "Tiap pemain di Brazil selalu punya julukan. Karena gaya main ngotot dan tubuh kekar, saya dipanggil Toro," tutur mantan suami Elaine tersebut.

Lopes sebenarnya nyaris memilih meniti karir di futsal. Apalagi, persaingan di kancah sepak bola Brazil begitu keras. Mantan pemain Vasco da Gama (Brazil) dan NAC Breda (Belanda) tersebut menuturkan bahwa setiap anak di Brazil tumbuh bersama sepak bola dan futsal.

Dalam satu minggu, jadwal bermain futsal dan sepak bola dia bagi rata. Tiga hari dia bermain futsal, tiga hari lain jatah sepak bola. "Di semua sudut Kota Rio, pasti Anda menjumpai kerumunan orang bermain bola. Kami menyebutnya street football," ujar Lopes.

Ternyata, di sepak bola jalanan itu, yang aturan mainnya mirip dengan futsal, Lopes menemukan keunggulan. "Teknik bagus dan tendangan keras adalah kuncinya," terang pemain yang mencetak 72 gol selama empat musim membela NAC Breda tersebut.

Di pihak lain, awalnya Lopes mengira karirnya di sepak bola tak bisa bertahan lama. Akhirnya, waktu untuk memilih tiba. Saat itu dia berusia 19 tahun dan bermain di klub Vasco da Gama. Lalu, tawaran dikontrak sebagai pemain futsal profesional dating kepada Lopes. Dalam kebingungan itu, rekan sekampungnya dan pahlawan Brazil pada PD 1994, Romario, memberinya masukan.

"Sepak bola lebih universal dan mendunia. Walau tak bermain untuk timnas, kamu berkesempatan berkelilimg dunia," ucap Lopes, menirukan nasihat Romario.

Lopes lantas menuruti perkataan Romario. Dia menolak tawaran klub futsal tersebut dan tetap bermain bersama Vasco da Gama. Sebulan setelah itu, tepatnya Mei 1997, mantan pemain Persita Tangerang dan Pelita Jaya Karawang tersebut dikontrak klub Eredivisie, NAC Breda.

"Saya berutang kepada Romario," ungkap penyuka nasi goreng seafood itu.

Di sisi lain, Lopes menyukai iklim sepak bola Indonesia. Terutama, antusiasme para penggila bola. "Saya pernah bermain di FC Pahang, Malaysia. Tapi, suasana di sana tak semeriah Indonesia. Penonton hanya sedikit," papar Lopes.

Tak heran, pada usia yang sudah berkepala tiga kali ini, pengagum Romario dan Ronaldinho itu ingin mengakhiri karir di Indonesia. "Mungkin tiga sampai empat tahun ke depan saya masih main. Setelah itu, saya ambil lisensi kepelatihan dan menangani klub Indonesia, seperti Jacksen (F. Tiago) di Persipura," tuturnya. (*/c11/diq)

---

BIODATA

Nama : Cristiano Lopes

Panggilan : Toro

Lahir : Rio de Janeiro, 18 Februari 1978

Anak : Yasmin Lopes

Karir pemain

1989-1995 FC America

1995-1997 Vasco da Gama

1997-2001 NAC Breda

2001-2002 Stuttgart Kickers

2002-2003 Uberlandia

2003-2004 Persita Tangerang

2004-2005 Persim Maros

2005-2006 PSPS Pekanbaru

2006-2009 Pelita Jaya Karawang

Mei-Desember 2009 FC Pahang

2009-2010 PSIS Semarang